MOTTO ADAT
PAKPAK
Banyak motto
terdapat di Sumatera Utara, dengan motivasi spesifik intrinksik maupun
ekstrinksik terhadap budaya masyarakatnya. Tapanuli mempunyai motto “Anakhonhi do hamoraon di ahu”,
Simalungun terkenal dengan “Habonaron do
bona”, Karo mempunyai motto “Sada
gia manukta gellah takuak” dan Melayu Deli mempunyai motto setampuk sirih sejuta pesan.”
Motto adat
pakpak adalah “Ulang telpus
bulung”(merugikan diri sendiri) muncul pada zaman dahulu saat ilmu
pengetahuan dan teknologi belum menjamah kehidupan Pakpak. Bila diartikan
secara harfiah yaitu “Daun jangan sampai terkoyak atau bocor”. Daun
yang dimaksud adalah daun pisang yang dipakai sebagai alas makanan pengganti
pinggan pasu yaitu piring. Dimana pada saat itu pinggan
pasu atau piring hanya diperuntukkan bagi pertaki(ulubalang)/raja.
Pada saat makan
menggunakan daun pisang sebagai pengganti pinggan (piring) tadi jika satu
tangan dengan kelima jari menahan dua lapis daun pisang, diletakkan 5 potong
ubi rebus di atasnya maka daun pisang akan koyak, tidak kuat menahan beban.
Bayangkan zaman sekarang anda membeli lontong satu bungkus dengan porsi lebih,
maka daun pisang pembungkusnya akan koyak dan lontong anda tumpah semua. Oleh
karena itu diperlukan kedua tangan untuk menahan ke-5 potong ubi rebus tersebut
agar daun pisangnya tidak koyak. Hal ini berarti kita memerlukan tangan orang
lain membantu kita mengambil dan meletakkan sesuatu ke atas daun pisang yang
kita pegang dengan kedua tangan kita.
Demikian pula pada
saat pesta (pesta njahat maupun mende), orang hanya boleh memakan makanan yang
jumlahnya, porsinya sesuai (pas) dengan daun pisang yang tersedia. Sebab bila
serakah dengan porsi lebih malah akan tumpah dan tidak dapat menikmati apa-apa.
Orang narahup, rakus maksudnya akan kennan uhut (sekam
padi). Oleh karena itu harus ada keseimbangan antara daya tampung dengan yang
ditampung. Keiklasan orang pemberi makan dan sukacita orang yang diberi makan,
jangan ngut-nguten, bersungut-sungut maksudnya. Jadi semacam “take
and give”. Boleh juga disebut saya tidak berarti apa-apa apabila orang lain
tidak ada, saya tidak dapat hidup sendirian tanpa kehadiran orang
lain. Tetapi saya tidak dapat memaksa orang lain memberi lebih kepada
saya, karena daya tampung saya sendiri juga terbatas. Orang lain bukanlah
dispenser yang bila dipencet akan keluar air panas atau air dingin sesuai
dengan keinginan kita.
Motto ini berlaku
pula dalam pelaksanaan adat Pakpak. Contoh sederhana apabila seseorang diundang
menghadiri acara pesta mengadati pernikahan. Sebutlah posisinya sebagai Kula-kula/Kalimbubu/Puang
atau Simemupus dari pengantin pria harus membawa manuk,
bellagen mbentar dan kembal selampis berisi beras atau pinahpah dan lemmang
maupun nditak tasak (Ayam, tikar putih dan sumpit)selanjutnya persinabul,
perkata-kata (MC, Master of ceremony pesta) mewakili pengantin akan
memberikan oles atau mandar (Ulos atau Sarung) dan sejumlah
uang minimal senilai yang dibawa kula-kula tadi. Demikian pula bila posisi
undangan sebagai perberru apabila membawa oles akan menerima balasannya seekor
ayam lengkap dengan selampis dan tikar, lemmang, pinahpah atau nditak
tergantung nilai oles yang dibawa. Jadi tercipta semacam balancing,
keseimbangan antara pihak berru, kula-kula hingga ke sulang silima. Sampai
disini dirasakan masih relevant dan baik
Kelemahan mulai
muncul, pada saat meminang impal, calon istri. Pihak keluarga
perempuan mulai hitung-hitungan. Mulai menghitung bulung, untung
rugi. Berapa ya bulung (duit, kerugian) habis mulai melahirkan
sang putri, membesarkannya, menyekolahkannya dan uang sogokan mencarinya
pekerjaan (kalau sang putri pegawai negeri, sudah menjadi rahasia umum perlu
uang sogokan agar dia diterima jadi pegawai). Bulung oda boi telpus,
pihak manapun tidak mau rugi. Total perhitungan jadilah mas kawin yang harus
dibayar. Bisa dalam bentuk uang, emas, mesin jahit, kerbau, sawah atau ladang
yang disebut dengan tokor berru (sinamot, mahar). Tawar
menawar tokor berru antara persinabul pengantin pria dan
persinabul wanita biasanya berjalan alot dan bila kedua belah pihak saling
bersikeras dan tidak ada yang mau mengalah perkawinan akan undur waktu, meniti
hari baik bahkan ada kemungkinan batal. Anehnya suku Pakpak, mampu menerima
adat suku manapun juga, baik calon pengantin pria maupun wanita. Bahkan tidak
heran adat suku lain diberlakukan di daerah Pakpak walaupun kedua pengantin
berasal dari suku Pakpak asli hanya karena ayah angkat salah satu pengantin
dari suku lain tersebut. Hal ini dapat terjadi menghindari biaya “Ulang telpus
bulung” yang relatife mahal dan pihak pengantin pria dari kalangan kurang mampu
padahal kedua pengantin sudah cocok dan saling mencintai.Maka identitas Pakpak
pun hilang setahap demi setahap, baru oleh satu alasan saja belum lagi
faktor-faktor yang lain. Motto “Ulang telpus bulung” pun mempengaruhi kehidupan
sosial sehari-hari. Akibatnya setiap tindakan sosial yang diperbuat
mengharapkan balasan yang setimpal. Jeleknya lagi ada yang
mengharapkan perbuatannya, pemberiannya akan dibayarkan kelak (tidak dermawan).
Pamrih semacam ini menjadikan orang Pakpak tidak rela berkorban, sehingga ada
istilah “Oda mersidahiin” Tidak saling mengunjungi dan
memberikan kewajiban adat ataupun menerima hak adat. Adalah kebiasaan kita
zaman dahulu hidup berdampingan, tidak bermusuhan, bukan tidak cakapan
atau cikalak dan hidup rukun. Budaya “Oda mersidahiin” atau
cikalak, eskete terjadi karena budaya gampang sekoh dan tembohon,
tersinggung dan ngambek maksudnya. Penyebabnya macam-macam karena perbedaan
tingkat sosial, kecemburuan sosial (late, teal, elat, iri, dengki), bisa juga
karena pernah khilaf lupa mengundangnya pada suatu pesta, khilaf lupa
memberikan sulangnya pada suatu pesta dan malah ada dendam turun temurun karena
masalah baleng, perbatasan ladang atau pembagian harta warisan
yang dirasakan tidak adil. Ada juga karena masalah dukung mendukung pada
pemilihan raja bondar, sintua , kepala desa atau anggota dewan. Dan banyak
penyebab lainnya. Motto ulang telpus bulung pun menjadi hambatan dalam
pembangunan, membangun sesuatu sarana yang berasal dari swadaya masyarakat.
Kerelaan memberikan dana dan tenaga pun masih berhitung-hitung bulung, karena
kerelaan berkorbaan rendah.
Adalah tanggung
jawab kita bersama sebagai generasi penerus Pakpak, bukan hanya sebagai penerus
generasi Pakpak, meneruskan darah marga Pakpak saja untuk mengembangkan sisi
positif dan meminimalkan sisi negatife motto “Ulang telpus bulung”. Merubah
sikap budaya Pakpak yang negatife menjadi kelebihan Pakpak.