Kebudayaan Pakpak
sebagai buah dari perdagangan internasional
Masuknya
unsur-unsur budaya Hindu-Buddha (India) ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan
oleh adanya kontak antarpendukung kedua budaya. Tempat yang paling memungkinkan
terjadinya kontak itu di masa lalu adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah
maupun arkeologisnya menunjukkan tempat ini pernah berjaya sebagai bandar
internasional. Para pedagang
dari India mendatangi Barus untuk membeli getah bernilai tinggi yang dihasilkan
di daerah Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal orang-orang
Pakpak. Bukti kehadiran mereka –terutama dari India selatan/daerah Tamil-
adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Barus, Tapanuli Tengah. Prasasti
berangka tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang
yang bernama Ayyāvole 500(Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan
Subbarayalu,2002:24). Dalam beberapa
teks berbahasa Armenia yang berasal dari abad ke-13 hingga ke-18 Masehi
terdapat suatu tempat yang disebut Pant’chour/Part’chour sebagai tempat asal
kamper bermutu terbaik (Kévonian,2002:51). Menurut teks-teks Armenia tempat
lain yang juga banyak mengeluarkan kamper bermutu adalah P’anes/ Ēp’anes/
Ēp’anis/Ep’anēs, yang terletak di pantai timur di bawah Perlak/Peureulak.
Menurut teks-teks Armenia tersebut hanya ada 2 tempat di Pulau Sumatera yang
mengeluarkan mata dagangan kamper yakni Pant’chour dan P’anēs
(Kévonian,2002:70–72). Prasasti Rajendra I di Tanjavur menyebutkan tentang
“Pannai di tepi sungai” sebagai salah satu tempat yang diserbu tentara Cola
pada tahun 1025 M.
Berdasarkan sumber-sumber tertulis itu titik-titik kontak
antara pribumi Pakpak dengan budaya India adalah Barus yang berada di pesisir
barat Sumatera dan Pane di selatannya yang bermuara di pesisir timur Pulau
Sumatera. Walaupun daerah
Pakpak berada di gugusan Pegunungan Bukit Barisan, namun lembah-lembah beserta
aliran sungainya memegang peranan penting bagi terciptanya komunikasi antara
daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di samping itu, gugusan pegunungan,
lembah-lembah, dan sungai-sungai yang ada juga ikut menciptakan jaringan
perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman. Dunia niaga antara kawasan
Singkel dan Barus denganPakpak landen (tanah Pakpak) dan Sibolga
serta Natal dengan Angkola dan Mandailing banyak ditentukan oleh jalur niaga
yang melalui gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai di daerah
tersebut (Asnan,2007:40–41).
Sampai awal abad
ke-19 penduduk dari subetnis Pakpak, Angkola, dan Mandailing dikenal sebagai
pengumpul hasil hutan (terutama kamper dan kemenyan) yang mereka jual ke daerah
pantai barat Sumatera. Selain pantai timur Sumatera daerah pesisir barat
Sumatera merupakan daerah pasar utama dari berbagai komoditas yang dikumpulkan
dan dihasilkan oleh masyarakat Pakpak, Angkola, dan Mandailing (Asnan,2007:42). Kontak yang
terjadi antara orang-orang Pakpak dengan para pendatang dari India di masa lalu
mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi adalah salah satu proses
perubahan budaya, yang ditandai oleh terjadinya interaksi intensif antara
kelompok-kelompok individu dengan kebudayaan berbeda, yang mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau
kelompok-kelompok yang terlibat.
Dalam hal
kebudayaan Pakpak, tampaknya akulturasi yang berupa adisi merupakan proses
budaya yang terjadi di masa lalu. Sebelum kedatangan orang-orang India dengan
kebudayaannya yang khas, orang-orang Pakpak telah mewarisi kebudayaan
tersendiri yang berbeda dari para pendatang dari barat tersebut. Datangnya
budaya baru pada masyarakat Pakpak memperkaya khasanah budaya yang telah lama
mereka miliki. Pada ranah sistem kepercayaan misalnya sebelum kedatangan
kepercayaan Hindu-Buddha masyarakat telah memiliki kepercayaan terhadap roh-roh
leluhur. Masuknya agama Hindu-Buddha dengan pantheon-pantheon dan sistem
ikonografinya telah menambah ragam bentuk hasil budaya trimatra Pakpak yang
telah ada sebelumnya. Bentuk-bentuk
seperti patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulanensebenarnya
tidak lain adalah hasil interpretasi Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang
dikawinkan dengan bentuk mejan yang telah ada sebelumnya,
sebagai suatu simbol kendaraan/wahana arwah. Bentuk mejan awal/asli
pribumi Pakpak itu mungkin sebagaimana yang hingga kini masih dapat dilihat di
daerah Toba seperti bentuk kepala burung enggang/rangkong, kuda, dan perahu
yang dianggap sebagai simbol asli bagi kendaraan arwah.